Selasa, 15 Desember 2009

ARE YOU THE REAL ACTIVIS

ARE YOU THE REAL ACTIVIS?
By:
Dhama suroyya
mahasiswa KPI semester lima

Secara general menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata aktivis berarti orang (terutama anggota organisasi, politik, sosial buruh,tani, pemuda,mahasiswa dan wanita) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan suatu atau berbagai kegiatan di organisasinya. Namun tak banyak dari mahasiswa yang benar-benar memahami makna aktivis yang sebenarnya. Semisal salah seorang teman penulis yang memiliki bad prestation di akademik mengaku seorang aktivis sehingga tak memiliki waktu cukup untuk belajar.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa tidak banyak dari mahasiswa yang betul-betul memahami konsep aktivis. Bahkan tak jarang sekali mereka salah dalam memaknainya. “Yang dinamakan aktivis itu aktif di bidang organisasi dan akademis, kalau menurut saya semua mahasiswa itu aktivis karena aktivis sendiri berasal dari kata aktif jadi mereka yang aktif tidak hanya di bidang organisasi melainkan akdemis juga dinamakan aktivis” Tutur Ghoffar mahasiswa MU semester IV.
Dari ungkapan mahasiswa di atas perlu ditelaah lebih lanjut mengenai perbedaan aktivis dan organisatoris. Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia makna orgnisatoris adalah bersifat ahli dalam mengorganisasi. Ruang lingkup antara aktivis dan organisatoris pun berbeda, organisatoris memiliki ruang lingkup organisasi itu sendiri sedangkan aktivis selain aktiv dalam organisasi tetentu (sebagai organisatoris) dia juga memiliki kesibukan lain yakni memperjuangkan hak-hak orang lain biasanya bersifat sosial dan berkedudukan menjadi korban dari suatu sistem tertentu (http://abdulganie.wordpress.com/2009/01/16/aktivis/).
Terkait dengan hal di atas, Khoirul Faizin di sela-sela beliau memberikan pengarahan jurnalistik pada PJTD IV tempo lalu beliau mengatakan bahwa” .... nama aktivis tercoreng gara-gara ada beberapa mahasiswa yang mengaku-aku sebagai aktivis namun meremehkan akademisnya”. Setali tiga uang dengan khoirul faizin, Win Usuluddin Bernadien M.Hum juga mengemukakan pandangannya mengenai aktivis kampus ”Menurut saya konyol sekali seorang aktivis stressing pada organisasi daripada akademisinya. Seorang benar-benar dikatakan the real activis bila: dia memiliki loyalitas tinggi pada organisasinya disamping ia juga memiliki nilai yang bagus dalam akademisi” Tutur Beliau seraya menulis beberapa poin mengenai aktivis pada selembar kertas di depan beliau.
Memiliki loyalitas yang tinggi dan nilai akdemis yang bagus merupakan konsep penting bagi seorang aktivis. Akan tetapi perlu adanya aspek lain yang mendukung seseorang untuk bisa dikatakan sebagai real activis
“Konsep aktivis menurut saya itu merujuk pada adanya pengembangan intelektual yakni kegiatan yang ada keterkaitannya dengan pengembangan intelektual seorang mahasiswa yang berfungsi sebagai agent of change, akan tetapi dalam realitasnya yang ada justru kebanyakan mahasiswa berpikiran Pragmatisme, mereka melakukan segala sesuatu berdasarkan atas seberapa besar keuntungan atau kerugian yang mereka dapat. Nah, justru rusaknya aktivis kampus karena adanya sifat pragmatisme tersebut. Seharusnya mahasiswa berpikiran idealis, karena yang dinamakan mahasiswa harus bisa menyuarakan kepentingan berbagai pihak mengenai kebijakan kampus.” Tutur Muhibbin sambil merapikan beberapa buku yang agak berserakan di meja dengan senyum khas beliau.
Lain Lubuk Lain ikan, lain Muhibbin lain Win Usuludin Bernadien,
“Begini ya, sebelum saya menjawab pertanyaan seputar aktivis saya akan memberi tahu mengenai tipologi Mahasiswa, mahasiswa itu terbagi menjadi tiga kategori
a. Text-book student
b. Gentleman – C
c. Activism ( Real activis & Pseueo activis)
Selanjutnya beliau menjelaskan lebih detail mengenai tipologi mahasiswa. Text book student itu terfokus pada text dan tipe mahasiswa ini sangat sulit sekali membaca realitas sosial. Sedangkan gentleman-C mahasiswa tipe ini sangat sulit sekali untuk maju. Mahasiswa tipe kedua ini trepengaruh oleh postmodernisme sehingga mereka bersifat hedonis dan consumptive. Tipe mahasiswa yang ketiga yakni activism, kebanyakan yang di jumpai di seluruh indonesia adalah tipe Pseudo aktivis (aktivis semu atau tidak sebenarnya, red) akan tetapi secara keseluruhan yang ditemukan adalah tipe mahasiswa yang a & b” Kata Win Usuludien Bernadien M. Hum ramah.
Terkait dengan keterangan yang telah disebut di atas, maka ada beberapa hal atau kriteria yang benar-benar membedakan antara real activis dan Pseudo aktivis Berikut pendapat mengenai real activis:
“Kalau menurut saya harus ada kriteria tertentu yakni dia benar-benar aktif baik akademis maupun organisasi, yang dimaksud organisasi disini bukan datang ke kampus hanya untuk mendapat gelar tanpa melakukan proses lainnya” tutur Ghoffar yang lebih akrab disapa Ovan
“Gak semua mahasiswa aktifis, karena aktivis memiliki kriteria tersendiri diantaranya mampu mengembangkan intelektual di luar akademis yakni mengembangkan apa yang mereka peroleh ke wadah organisasi “ tutur Muhibbin
“.... dan yang membedakan antara seorang aktifis dengan organisatoris atau mahasiswa yaitu terletak pada fungsinya yakni Vehicles & Motorized dua hal tadi hanya dimiliki oleh the real activis.
Seperti yang telah ditarakan oleh khoirul Faizin, walaupun keberadaan aktivis atau nama aktivis tercoreng oleh oknum-oknum tertentu yang mengatasnamakan dirinya aktivis namun, keberadaannya sebagai moral forced, moral Agency serta moral actor sangat diperlukan untuk menuju suatu perubahan yang lebih baik. Keberadaan aktivis sangat diperlukan sekali, sebagai kontrol (untuk) mengendalikan moral forced, moral agency dan moral actor. Coba apabila kita lihat seseorang perempuan mengenakan jins dan baju ketat lalu jongkok kemudian kelihatan bagian dalamnya, kalau sudah seperti itu siapa yang disalahkan? Mahasiswa? Dosen? Sistemnya? Atau mungkin semuanya harus mengalami perombakan? Disinilah letak tugas sebagai seorang aktivis untuk menyuarakan atau merombak menuju ke perubahan yang lebih baik dan menurut saya sangat penting sekali keberadaan aktifis yakni sebagai aktualisasi untuk self building hal ini dikemukakan oleh Win Ushuludien tempo hari.
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Muhibbin,Ovan dan Anggun menurut mereka:
“Sangat perlu sekali untuk mengembangkan potensi diri” tutur Muhibbin
“Sangat diperlukan sekali, karena aktivis di bidang organisasi mereka:
1. jeli akan kebijakan yang dikeluarkan kampus untuk mahasiswa
2. Berani untuk menyuarakan suara dengan lantang baik dengan demo atau kumpulan dengan mahasiswa, ia juga mengkroscek kebijakan kampus” ,tutur Ovan
“Sangat diperlukan, seperti layaknya sebuah taman gak ada bunga kan tidak menarik atau janggal karena dengan adanya aktivis itulah bisa mewarnai kampus. Dia juga mempunyai keinginan untuk mengembangkan diri atau menyumbangkan potensinya ” tutur Anggun mahasiswa Tarbiyah PAI semester IV.
Akan tetapi, walaupun keberadaan aktivis sangat penting namun dalam perkembangannya khususnya di kampus STAIN mengalami decrease atau bisa dikatakan hampir tidak ada ,
“Hingga saat ini saya belum menemukan agen of change yang mampu merubah kondisi yang ada, mahasiswa saat ini cenderung diam melihat segala sesuatu yang salah berkenaan dengan kebijakan yang dikeluarkan kampus semisal mengenai alokasi dana semua tadi berawal dari pola pikir mereka yang cenderung pragmatis” kata Muhibbin menerangkan
“Menurut kaca mata pribadi saya, di STAIN ini ada yang benar-benar aktivis namun sekarang sudah alumni dan sejujurnya saya tidak tahu atau hati saya resah melihat realitas mahasiswa. Kebanyakan yang saya tahu di sini mahasiswa poin B (Gentleman-C, red) karena terpengaruh postmodernisme sehingga mereka bersifat consumptive dan Hedonis yang mengarah ke arah pragmatisme” tutur dosen Filsafat alumni UGM
“Saya kira waktu 1,5 tahun sudah cukup ya untuk bisa memberi kesimpulan mengenai bagaimana perkembangan aktifis di kampus STAIN saat ini. Cukup signifikan anemo para aktifis selalu aktif atau semangat dalam menyuarakan kepentingan mahasiswa atau tentang kebijakan-kebijakan kampus salah satu diantaranya dengan demo” Ungkap Ovan ramah. (£)